TUMBUHANPUN MENGERTI KASIH SAYANG


Oleh : Mahfud

Guru Biologi SMP YPPI – 2 Surabaya

1. Rasional

Menyimak kisah kematian pohon – pohon di Metropolis (Jawa Pos, 13 Januari 2006), hati penulis sangat trenyuh. Betapa tidak, pohon beringin (Ficus benyamina) yang sudah berumur puluhan tahun dengan diameter batang setara pelukan 2 orang dewasa yang terletak di tengah – tengah Balai Pemuda Surabaya harus mati hanya gara - gara setiap Kamis malam diberi sesajen dan kemenyan yang dibakar.Di tempat lain, tepatnya di kawasan Gayung Kebonsari, di tepi saluran air sebelah timur, ada sebuah pohon waru (Hibiscus tiliaceus) yang cukup tua ditebang karena posisinya miring ke arah jalan. Di seberang pohon waru tersebut terdapat pohon sono (Pterocarpus indicus) yang tinggi menjulang. Pohon sono itu pun mengalami nasib sama dengan pohon waru karena sering dikepras petugas Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Surabaya sehingga sekarang tinggal batangnya yang mengering seperti tiang listrik.

Sementara itu, menarik untuk disimak adalah hasil pendataan fungsi pohon di jalan utama Kota Surabaya oleh Klub Tunas Hijau pada Mei 2005. Yakni, sebanyak 1.968 pohon digunakan untuk beriklan, 338 pohon dibakar, 466 pohon ditebang, dan 77 pohon digunakan untuk menaungi warung atau rumah (Jawa Pos, 13 Januari 2006). Berdasarkan hal tersebut, timbul pertanyaan, mengapa pohon-pohon itu harus mati ? Pertanyaan berikutnya, bagaimana seharusnya sikap warga kota terhadap pohon-pohon tersebut ? Tulisan ini akan mencoba mengulas permasalahan itu.

2. Salah Persepsi

Contoh nyata salah persepsi sebagian warga kota terhadap keberadaan pohon adalah matinya pohon beringin di Balai Pemuda tersebut. Fungsi pohon yang seharusnya sebagai paru-paru kota, pelindung saat panas terik, dan khusus pohon beringin di Balai Pemuda itu konon juga digunakan sebagai background dadakan bila ada pentas seni karena memang akar gantungnya mempunyai nilai estetika tersendiri, justru disalahartikan dengan cara diberi sesajen dan kemenyan (Jawa Pos, 13 Januari 2006).

Sementara itu, kisah kematian pohon waru dan sono di kawasan Gayung Kebonsari, menurut penulis, lebih bersifat teknis dalam pengeprasan pohon. Seharusnya, setiap pengeprasan pohon tidak seluruh cabang dan dahan dihabiskan agar proses fotosintesis masih dapat berlangsung. Penulis kurang setuju, karena takut tumbang, puluhan pohon di jalan Kertajaya dikepras habis (Jawa Pos, 15 Januari 2006). Menurut penulis, di setiap pohon harus ada keseimbangan (balance) antara akar, batang, dan daun. Bila itu tidak terpenuhi, pohon tersebut minimal bentuknya jelek dan yang paling fatal bisa mati karena terganggunya proses fotosintesis. Lihatlah pohon-pohon sono yang telah mencapai keseimbangan membentuk “terowongan” pohon di jalan Walikota Mustajab, depan Rumah Sakit Darmo, dan jalan Rungkut Industri. Melewati kawasan tersebut seolah-olah kita melewati terowongan pohon yang indah dan sejuk.

3. Kasih Sayang

Untuk menjawab pertanyaan bagaimana seharusnya sikap warga kota terhadap keberadaan pohon-pohon tersebut, ada baiknya kita ikuti penelitian di Amerika Serikat. Ada beberapa ahli yang mengadakan penelitian untuk mendeteksi tumbuhan tertentu dengan menggunakan alat yang mirip multimeter.Apabila seorang penyayang tumbuhan (gardener) mendekat, “emosi” tumbuhan tersebut normal (jarum alat tersebut menunjuk angka nol). Sebaliknya, jika yang mendekat itu adalah orang yang suka usil (suka merusak tumbuhan), “emosi” tumbuhan tersebut naik.Hal itu dapat dilihat dari jarum grafik alat khusus tersebut.

Penelitian serupa juga dilakukan para ahli dari Universitas Claremnot, Perancis. Objek penelitiannya adalah bunga Marigold (Tithonia difersipholia) atau orang Jawa menyebutnya dengan “Kembang Rembulan” yang berwarna kuning keemasan. Pada penelitian tersebut yang dideteksi adalah bagian apical (ujung) tumbuhan tersebut.Pada akhir penelitian tersebut disimpulkan, bahwa tidak hanya manusia dan hewan saja yang mengerti kasih sayang dan daya ingat, namun tumbuhanpun juga demikian (Mahfud,Gema, 1988).

Kitapun sering melihat tumbuhan elite yang selalu dimanja dan disayang oleh pemiliknya.Bahkan, tidak tanggung-tanggung, tumbuhan tersebut mempunyai daya tarik yang luar biasa bagi yang dapat menikmatinya. Karena itu, oleh pemiliknya tumbuhan tersebut sering dipajang di ruang tamu yang sekaligus menjadi kebanggaan tersendiri. Tumbuhan yang dimaksud adalah “bonsai” yang sekarang sedang populer di negara kita. Sebetulnya, jika kita mau berfikir logis, tumbuhan itu secara tidak langsung dirugikan haknya untuk tumbuh menjadi tumbuhan normal. Tetapi, tumbuhan tersebut tidak pernah menggugat ke pengadilan, bahkan sebaliknya dengan dikerdilkan, tumbuhan tersebut justru menunjukkan kebolehannya. Mengapa demikian ? Sebab, dalam mengerdilkan tanaman tersebut, manusia tidak gegabah memotong begitu saja, melainkan diperlukan ketrampilan khusus dan ketekunan dengan penuh kasih sayang. Bahkan, untuk mendapatkan bentuk bonsai yang mempunyai nilai seni tinggi, diperlukan kontemplasi (perenungan) yang mendalam (H.J. Larkin, 1984). Dengan demikian, tidak heran bila tumbuhan tersebut hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu saja. Pernahkah anda memikirkan tumbuhan kerdil itu ? Cobalah perhatikan, ia seolah-olah tersenyum manja kepada kita karena disayangi pemiliknya.

Sebetulnya, tumbuhan itu menurut saja, apakah ia dirawat dengan baik atau dirusak, dipaku untuk iklan, atau dibiarkan saja, ia tidak pernah protes. Hanya orang-orang yang mempunyai kepekaan tinggi sajalah yang mengerti “keluhan dan rintihan” tumbuhan. Karena itu, penulis sangat salut dan angkat topi terhadap gebrakan Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Surabaya yang menggalakan taman-taman kota dan hutan kota dengan menanam pohon mahoni (Swietenia mahagoni) di tepi-tepi jalan.Semoga.( Pernah dimuat Jawa Pos, 22 Januari 2006 )

0 Response to "TUMBUHANPUN MENGERTI KASIH SAYANG"

Posting Komentar